Adalah kamu saat ini yang mewadahi hujan jiwaku.
Dengan emas berlapis mutiara samudra di kedalaman Antartika.
Air hujan jiwa terkulai tak berdaya tanpa nyawa.
Pasrah karena kamu bertabur kilau bak mata pedang yang menancap
karang.
Mati...
Tanpa kain kafan, tanpa batu nisan, juga tanpa dupa-dupa
pemujaan.
Ini matilah jiwaku dalam lebel kehormatan.
Tak akan menjadi kunang-kunang kuku-kuku, pun tak akan
melayang-layang arwah, kata mitos beredar di kuping kanan.
Matiku di pelupuk mata bidadari kahyangan, matiku di sari
bunga sang perawan.
Sambutlah rintik air jiwa kepasrahan.
Tanpa perantara ku jatuh menantang pekat awan, kecepatan
setara hujaman sinar.
Lalu sampailah kau tak basah, tapi percikan, kau berdiri
lalu dinginlah sudah.
Tenang...
Tenang...
Irama hujan bukan sebuah keniskalaan.
Deru kebisingannya hanya liku, luka adalah bekas perjalanan
di trotoar.
Sampailah lalu sambutlah air jiwa hujan di tanah para
pertapa.
Penjara dengan wadah emasmu, tuang ke kolam lumpur jika kau
pun mau.
Sambutlah Hujan, aku mati disana wahai sayang...
30-11-2013