TRISULA FIKSI
FIKSI TROTOAR
Kau di trotoar jalan
Menghempas debu di
tanah perjuangan, katamu
Kau lambaikan tangan
Asap kotor kota besar
sapa senyummu, kataku
Aku meraih dekil
perasaan
Menjemput cerita yang
belum selesai, katamu
Aku menghampiri tuan
di tanah perjuangan
Wanita di trotoar
jalan menyambutku, kataku
Di tanganku
Sanding kado
berbungkus warna hitam, kataku
Merayu aku di iringi
suara bising kendaraan
Apa yang berwarna
putih di tanganmu, katamu
Debu di tanah
perjuangan serang keromantisan
Bersama angin yang mengarah
tubuhku, kataku dan katamu
Di trotoar jalan
Sandarkan kau di
sisiku bersama anganmu, katamu
Kado menghilang di
telan indah
Kau bersama di tanah
perjuangan adalah kadoku, katamu
Kataku...
Ini hanya fiksi wahai
tuan
FIKSI SUDUT PANTAI
Di sudut pantai
Ombak melamunkan
ketenangan
Karang menghayal tuk
bisa terbang
Pasir ingin melawan
ombak yang garang
Pun aku, bersamamu
menyaksikan mereka
Tanganku berlumur
pasir
Masih erat di
punggungmu
Sesekali, kau ajak
awan memandangiku
Aku tersenyum...
Ombak cemburu
Ia terjang jari
kakimu yang lama mengering
Kau teriak...
Aku pasrah menerima
tubuhmu
Di dadaku, lalu kau
tersenyum malu
Sudah senja langit
tenang
Ombak masih belum
selesai menghajar pantai
Karang masih belum
selesai menahan ombak liar
Pasir masih belum
selesai membuat dendam
Pun aku, belum
selesai menghayal keindahan
Tentangmu, karena ini
fiksi
FIKSI PELAMINAN
Janur kuning
melengkung di gerbang kerajaan
Di paling ujung jalan
“selamat datang para undangan”
Mata-mata telanjang
melototi kebahagiaan
Di teras paling depan
Singgasana sang
pangeran gagah menyambut sang putri kahyangan
Padahal bukan
jamannya kerajaan
Sehari setelahnya...
Baju-baju putih
penuhi kerajaan
Di teras paling depan
Bersorban kemulyaan
sesosok orang sedang dalam kekhusuk’an
Melantunkan dzikir
ketuhanaan di tengah terik siang
Dan aku...
Titik kecil yang
berjalan pasrah dengan adat
Salami tangan-tangan
yang tubuhnya di bungkus kain putih
Hingga, air mata tak
sanggup ku elakan lagi
Aku menang di
sayembara pelaminan
Sehari setelahnya...
Sang putri menangis
di sudut kamar
Lalu, aku bilang
“jangan takut
permaisuriku, ini hanya fiksi”
Trisula Fiksi,
27-09-2013, 8:43 wib, Bondowoso