Dewi Airlangga (72)
Kisah hati yang terkapar, keronta, kosong, diacuhkan jiwa
yang disayang. Terjebak, kisah yang berdimensi harapan, semakin hari semakin
akut air mata menyublim bersama eja-ejaan melankolis substantif. Ya, mencoba
tertawa dalam setiap kata, justru didalamnya kepedihan bersemayam ria.
Sekarang, tangan ingin menulis panjang, sepanjang
sajak-sajak yang kini menjadi anak jalanan yang terbuang, tanpa ibu, tanpa
bapak, mengais makna-maknanya sendiri untuk ke-berlangsungan bahagia dalam
hidupnya. Sekarat, terkadang tak sampai hati mengusap peluh-peluh yang mengalir
ber-iringan air mata.
Sekarang, tak ingin berhenti menetralisir rindu yang
mencuat, biar pedih se-pedih-pedih-nya, biar burung hantu yang mengaung tengah
malam turut serta menyaksikan; biar cicak-cicak memandang lusuh tubuh di pojok
kegilaan; biar racun-racun nyamuk turut merasakan, darah ini semakin cepat
mengalir kala kisah terfikir; biar dan biarkan, biar semuanya turut merasakan
tentang kejahatan tanpa hukuman sosial.
Sekarang, mungkin diluar wajar, paceklik hati jatuh pada
cinta yang sekian, sepertinya sulit di-idam-idam-kan. Bagaimana tidak, saban
mata memperhatikan anggun-anggun yang berjalan, mati rasa; saban hati mencoba
menangkap keistimewaan-keistimewaan lain di kerumunan perawan, mati tanpa ada
kemauan; lagi-lagi kisah itu justru menyambar dalam ke-tak-sengajaan.
Ingin bagaimana, apa ada karma yang menghujam – fikirku –
atau ini gelagat pelajaran yang tak kunjung selesai. Ingin bagaimana, langkah
mana mungkin bisa melaju kencang, di jalan sebelumnya ada senyuman yang tak
mungkin dilupakan. Ingin bagaimana, atau bagaimana caranya, atau bagaimana
harusnya, atau bagaimana, bagaimana, bagaimana, bagaimana, bagaimana. Ada
dendam, tak bisa diurai.
Bangkit dari kesedihan, memohon selesaikan kisah, sudah tak
cukup menanggung arogansi prinsip jiwa yang kadung dimiliki lawan dalam
per-kisah-an. Bukan belas kasih, bukan kecenderuangan simpati yang di
agung-agungkan. Skenario ini berat, masih bukan lakon berkemampuan luar
kebiasaan, tangis, tawa, dan bagaimana ekspresi seharusnya, aku tak bisa. Menyingkirlah!
Menyingkirlah! Menyingkirlah! Aku ingin berhenti di alur ini!. Tapi Bagaimana
(!) bukan (?).
09 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment