Malam ini, di tengah
petang aku bertasbih gerak, bersama peluh-peluhku yang mengalir deras.
Di serambi surau,
kala semua ahlul ibad pulang dari
tanah pertapaan, kala istana spiritual beristirahat dari keistiqomahan, kala
ini.
Malam berbaring pulas
di kesunyian, hanya aku sibuk mengais kebarokahan, bersama cangkul yang saat
ini bertengkar dengan bebatuan.
Semakin lihay angin
menggodaku, tipu mataku lalu hadirkan kelelahan, akupun tak sudi. Bukankah ini
sebuah pengabdian, pikirku.
Sang cangkul
keberatan, “aku kesakitan”, lirih ia berucap dalam khayalku. “Hahaha,
cangkul... cangkul... andai kau bisa bicara,” gumanku.
Cangkul... cangkul...
Lusuh wajahku, kopiah
biru kini berubah semu. Pun celana, andai masih baru, sudahlah ia tak pantas untuk
berumur tujuh minggu. Tapi, kenapa cangkul masih cemburu padaku?, andaiku lagi.
Cangkul... cangkul...
Cukup menghitung
jumlah peluhku, cukup pula membanding-bandingkan tasbih gerakku, ikhlas dan
sabarku adalah yang paling kurindu. Serta barokah dalam ujung harap setiap
doaku.
“Mengapa begitu?,”
cangkul berkata lagi dalam khayalku.
Cangkul... cangkul...
Karena inilah hidup yang hidup.
Lalu cangkulpun bisu,
nyatanya begitu.
02:10 wib, 18-01-2014