 |
JAWA POS RADAR BROMO EDISI 11 MEI 2014 |
KOPI
SUSU POLITISI
Suara knalpot-knalpot menderu tiada henti. Di
pinggir alun-alun kota Kembang, sebelah kiri Jl. Soekarno, aku duduk di
trotoar. Sesekali penjual kopi menghampiriku, menawarkan beragam jenis kopi
yang mereka jual, “kopi mas,... kopi mas,... kopi cappunino, kopi hitam pahit, kopi luak, kopi susu, monggo mas,”
dengan nada lihai para penjual kopi satu persatu menggoda hasratku. Aku
sendirian kala itu, malam minggu sebelum jam tujuh, waktu indonesia bagian kota
Kembang.
Aku masih duduk tenang, memperhatikan pemandangan
alun-alun yang ramai dengan muda-mudi. Hingga beberapa menit kemudian, seorang
pria penjual kopi yang kira-kira berumur lima puluh tahun menghampiriku. Tangan
kanannya menjinjing termos warna hijau, tangan kirinya bergelantung jenis-jenis
kopi instan yang hanya membutuhkan tuangan air hangat lalu siap disajikan.
Berbeda dengan para penjual kopi sebelumnya, dia tak berkoar-koar menawarkan
kopinya, hanya berjalan pelan seakan-akan menunggu panggilan dari peminat
kopinya. “Aneh,...” gumanku dalam hati.
Lama kuperhatikan si penjual kopi tadi, lalu
tertangkaplah mataku olehnya. Dia tajam memandangku, perlahan dari jarak
sepuluh meter dia mulai menghampiriku. Akupun salah tingkah, takut,
bertanya-tanya pada diriku sendiri, “apakah dia marah, atau hanya mengira aku
ingin mebeli kopinya.”. Dia semakin dekat, matanya tetap tajam melihatku yang
semakin gelisah. Sempat aku berpikir untuk berdiri lalu pergi menjauh, tapi
kutenangkan diri sejenak dan melemparkan pandanganku ke arah yang lain.
Sejurus kemudian, si penjual kopi menepuk
punggungku. Lalu kuarahkan lagi pandanganku yang sebelumnya berpura-pura lari
dari pandangannya.
“Kopi dek?” santun sekali nadanya menawarkan
kopi jualannya.
“Berapa
harganya pak?” jawabku sambil mencoba menenangkan pikiranku yang sempat
beraduk rasa takut dan gelisah.
“Sudah,... mau kopi apa?, bayarnya urus
belakangan.”
“Akh,... aku takut uangku kurang pak!.”
“Wuuuaalah dek,... ini hanya kopi, gag akan sampai korupsi uang rakyat kok dek.” gesit dia menimpal
perkataanku. Kemudian dia duduk di samping kananku.
“Adek dari mana?” tanya dia sembari
meletakkan perlengkapan jualannya.
“Aku dari kota Bunga pak”
“Waah,.. jauh sekali, pantesan tingkahnya
lucu.” cetus dia sambil meracik kopi yang akan ia persembahkan untukku.
“Lucu bagaimana pak?”, aku penasaran dengan
kata “lucu” yang dimaksudnya.
“Ya lucu dek,... Adek itu lihat kiri-kanan,
liahat kemana-mana, kayak politisi yang sedang bingung mencari suara rakyat
saja,” jawab dia cepat. Sembari mengaduk secangkir kopi susu yang hampir
selesai dibuatnya. “kalau jalan-jalan ke tempat yang jauh itu harus tenang dek.
Biar tidak dimanfaatkan orang-orang jahat. Kayak jadi rakyat, harus tenang jika
sedang Pemilu (Pemilihan Umum) supaya tidak dimanfaatkan oleh para politisi
penipu. Apalagi kayak adek yang masih masuk kategori pencoblos pemula.”
Lanjutnya, lalu dia menyuguhkan kopi susu yang sudah siap saji untukku.
“Terima kasih pak,” ucapku sambil lalu
menerima segelas kopi susu tadi.
“Ya, silahkan dinikmati dek.” Semakin santun
dia memperlakukanku.
Dalam hati aku heran dengan si penjual kopi
yang satu ini, kenapa dia selalu mengaitkan semua hal dengan politik. Sudah
tiga kali yang kuingat, dia menganalogikan hal-hal yang sebenarnya sepele
dengan politik. “aku harus bertanya”, gumanku dalam hati.
“Kok
bengong dek?” ia menepuk punggungku yang kedua kalinya semenjak kami bertemu.
“Hah,... gag
pak,” aku terbangun dari lamunku. “Begini pak, kenapa bapak selalu mengaitkan
semua hal dengan politik?, dari tadi saja bapak sudah tiga kali mengaitkan
hal-hal sepele dengan politik.” tanyaku panjang lebar.
Si penjual kopi tersenyum, ia terlihat
mengambil nafas untuk menjawab pertanyaanku. “Sekarang ini politik sedang
menjadi trending topic di negara kita
dek. Ya,.. kita harus mendukung tren ini, biar semua masyarakat juga ikut
membincangkan politik negara kita. Dengan begitu mereka akan banyak belajar
tentang keadaan politik di negara kita, dan nantinya mereka bisa membedakan
antara calon yang benar-benar baik untuk bangsa ini dengan calon yang hanya ngetren di media saja,” ia diam sejenak
sembari memperhatikanku yang sedang manggut-manggut mendengar ceramah
politiknya. “Karena Pemilu yang sekarang ini banyak sekali calon-calon pemimpin
kita yang hanya ngetren alias hebat
di media saja, padahal kinerjanya kosong, skil kepemimpinannya nol, wawasan
kenegaraannya....?, Apalagi.” Lanjut dia sambil memasang muka sinis dan
menyelesaikan jawabannya atas pertanyaanku.
Aku heran, dia penjual kopi atau pengamat
politik. Sengaja aku tak sampaikan keherananku, takut-takut ia salah paham.
Kuseduh secangkir kopi susu yang ada di
depanku. Meskipun kopi susu itu masih belum jelas statusnya, apakah dijual atau
diberikan gratis untukku. Tak selesai aku menyeduh, ia melanjutkan ceramah
politiknya , “Nah, sama dengan kopi susu itu dek, kopi itu kenyataan jelek,
susu itu rekayasa baiknya. Calon pemimpin kita di media, ya, seperti kopi susu
itu. Jika kopinya banyak susunya juga
diperbanyak, bahkan jauh lebih banyak, biar kelihatan putih dan rasanya lebih
manis.” Pungkasnya.
Tanpa ancang-ancang , ia langsung berdiri dan
meraih perlengkapan jualannya. “Loh,.. loh,... pak, mau kemana pak?” refleksku
ketika melihat si penjual kopi bergegas ingin pergi.
“Yaaaa,.. mau jualan kopi dek, supaya
keluargaku bisa makan. Saya ini bukan seperti politis nakal, yang ketika duduk
saja bisa menghasilkan uang lima miliar.” Ungkap dia sembari melangkahkan
kakinya.
“ini uang kopinya pak.” ucapku sambil meraih
uang di saku celanaku.
“Gag
usah, tabung saja buat sekolah yang benar.” pungkasnya setengah berteriak. Lalu
dia pergi dan menghilang di kerumunan muda-mudi yang sedang menikmati malam
minggu.
Setelah kepergian si penjual kopi aku melamun
sendirian, memikirkan kembali ceramah politik yang disampaikan oleh si penjual
kopi. Hingga jam sepuluh malam, akhirnya kuputuskan untuk beranjak dari
alun-alun kota Kembang, kembali ke kota Bunga dan akan kujadikan ceramah
politik dari si penjual kopi menjadi trending
topic disana.