Kau pikir aku sudah waras. Sedemikian gampang-kah kau sebut aku penipu. Bukankah kau sudah mengambil banyak dari keperawanan pengalamanku.
Ayolah "kamu", rekah senyummu adalah peduliku, aku yang lemah, dengan puisi ini aku mampu menyapamu.
Ayolah bertasbih saja sayang, seperti janji kita di penghujung jalan. Bukankah kamu yang mengajarkan, tentang menerima ketetapan Tuhan.
Setapak yang kulalui, kanan kiriku bara api. Kepatuhan ini bukan soal drama fiksi, ini soal kenyataan aku yang tak terlahir dari batu suci.
Jambesari, 30 April 2016
KEMATIAN SEBATANG ROKOK
Telah berpulang ke tanah becek
Diinjak seribu kaki hingga lecet
Sebatang rokok dari mulut hamba
Yang candu asap penuh mistis rasa
Telah berpulang gabus kuning
Berlilit pita emas garis merah minim
Segala pesona masa lalu gaya
Dilempar pada pertanyaan guna
Telah dirayakan sebuah kematian
Sebatang rokok teman berkarya
Segala amal persahabatan penuh makna
Kini ditulis pada nisan aksara
Kematian yang mula-mula
Hiduplah lagi membakar panjangnya tanya
Jambesari, 28 April 2016
Diinjak seribu kaki hingga lecet
Sebatang rokok dari mulut hamba
Yang candu asap penuh mistis rasa
Telah berpulang gabus kuning
Berlilit pita emas garis merah minim
Segala pesona masa lalu gaya
Dilempar pada pertanyaan guna
Telah dirayakan sebuah kematian
Sebatang rokok teman berkarya
Segala amal persahabatan penuh makna
Kini ditulis pada nisan aksara
Kematian yang mula-mula
Hiduplah lagi membakar panjangnya tanya
Jambesari, 28 April 2016
INI BUKAN HANYA SOAL TEORI; JAUH LEBIH KOMPLEKS
Ini (apa saja tafsir
pembaca) bukan hanya soal teori, tak se-sederhana algoritma percabangan, tak
se-sederhana silogisme-nya Aristoteles. Ini jauh lebih kompleks, ada
nilai-nilai abstraksi yang kadang mula-mula tak terhingga. Sebut saja begini,
teorinya secara umum kita akan mudah mencari X dalam persamaan 4X-5X=2016, lalu
bagaimana jika X bukan nilai pasti yang “terbaik” untuk persamaan tersebut,
artinya, ada nilai yang disembunyikan yang pada nilai “sama dengannya”
mula-mula boleh diubah sebab nilai tersebut adalah kedinamisan (hak kenyataan)
yang boleh jadi seharusnya lebih baik bernilai 2017 atau seterusnya.
Memang runyam
menjelaskan tentang kompleks yang tak bersinergi dengan teori. “Ini” adalah
sebuah kejutan fenomenal yang acapkali lebih pahit dari kopi. Lebih manis dari
madu asli. Lebih dan lebih yang terdapat
kontradiksi akut didalamnya. “Ini” adalah soal ketentuan yang otak tak bisa
menakar lebih rinci, se-detail apapun kita menghitung maka tetap akan terjadi
nalar post-rekonstruksi ide (anggap saja istilah ini sejalan dengan pembahasan
post-modernisme).
Pada dasarnya ini
adalah buah pikir sederhana yang dirunyamkan. Mencoba menjelaskan “ini”, atau
lebih tepatnya mencurahkan isi hati pada para pembaca tentang “ini”ku yang
semakin hari semakin menggerus emosi. Penjelasan ini hanya sebagai bentuk
“survive” dari sekelumit persoalan tentang “ini” yang berhasil membuyarkan
banyak fiksi, puisi, nilai kreatifitas, bahkan kekhusuk-an pada Ilahi (semoga
diampuni).
Semakin jelas bukan,
apa yang saya maksud dengan “ini”. Jemari ini tak berani menyebut secara
lantang tentang “ini”, ada rasa kerdil dalam diri ketika mencoba menyebutnya
sebagai persoalan vital yang berhasil memupuskan hasil pengalaman (bisa dibaca
mengaji) bertahun-tahun lamanya, entah itu pengalaman nalar, spiritual, bahkan
pengalaman fiskal.
Pembaca yang mulai
paham (andai ada yang membaca), sekali lagi saya sampaikan “ini” bukan hanya
soal teori, ada nilai kompleksitas yang harus dijamah sedemikian cara hingga
kita mampu membawanya pada ke-tidak-sesatan pemahaman (ayahku menyebut mursal).
“Ini” adalah pelajaran baru, dimana ukuran berhasilnya bukan ketika kita
meraihnya yang semau kita, justru bagaimana kita memahami pola kebijaksanaan
alam (Tuhan yang menetapkan ini melalui hukum kesengajaan, didalamnya ada usaha
kita), dan yakinilah “semua adalah yang terbaik”.
27 April 2016
Catat: “Ini” akan saya
perjelas jika sudah waktunya. J
ANAK SETENGAH LAPAR
Jangan kenyang anak
Anak jangan kenyang
Sebaiknya setengah lapar
Meski kau lahap makan
Dunia ini tak karuan
Jangan sampai penuh perutmu
Digilas raga jika sampai
Sebab itulah kau puas
Lalu buas
Sekali lagi anak
Jangan kenyang
Longgarlah gerakmu
Pada rongga dada menggebu
Sisakan tempat debu
Makan kemelaratan
Menggapai angan perlu kelabu
Maka janganlah kenyang
Jika sampai perih lambung
Menarilah saja
Biar pembakaran peluhmu terasa
Sampai puncak merana sekalipun
Puncak asa sekalipun
Puncak lara sekalipun
Menarilah saja
Rayakan setengah lapar
Bahkan kelaparan
Anak ingusan di garis juang
Ingus yang disamarkan
Lukislah pada kanvas riwayatmu
Tentang mengaji takdir Tuhan
Setengah lapar
26 April 2016
TARIKAN BENANG
Lurus...
Potong sudutnya
Di kiri sebelahmu
Berikan padaku
Tarikannya aku saja
Kau pegang benangnya
Nyalakan lagumu
Aku bersedia mendengar
Apapun itu
Sembari menarik
Sembari kau memegang
Jangan lupa doa milik kita
Hingga dahaga diatas tangga
Sebab aku mulai berkeringat
Dimanapun kau kini
Aku yang pura pura tahu
Tentang suara doamu
Sayang...
Esok kita berjumpa
Di perjumpaan tanpa reka
24 April 2016
HUJAN PETAKA
Hujan petaka di bumi
maksiat
Bumiku di bilik dada
Hujan petaka di langit
maksiat
Langitku di bilik
kepala
Semacam simfoni kehancuran
Runtuh instrumen di
tengah laga
Hujatan-hujatan pada
kuping
Dirasa sendiri
kebingungan
Lari semau nafsu
Malah makin terpuruk
Mati nafas sementara
Membawa pada puisi
dengan kelemahan
Mencoba menyematkan
dzikir
Demi petaka reda
Seikhlas Basmalah
Tuntunlah Gusti, hamba
binasa
Noda-noda hati menyamar
Bersihlah sebelum hidup
ini kelar
Hujan petaka menggilas
Semakin ganas
Laa Hawla Waala Kuwwata
Illa Billah, Allah...
24 04 2016
BIAR BAJINGAN
Biar bajingan ya
bajingan
Kalah ya kalah
Seperti setan musim
kemarau
Digdayanya jiwa lemah
Luntur aji aji tapa
Semakin tak sakti diri
ini
Mungkin dulu itu
sombong
Seperti punya skenario
sendiri
Kini berteriak memarahi
emosi
Mengecam keangkuhan
Biar bajingan ya
bajingan
Kalah ya kalah
Aroma dosa semakin
kentara
Di nafas di semenanjung
luka
Wahai Pencipta Surga
Dimanakah letak ampunan
Wahai Pencipta Neraka
Dimanakah letak siksa
Wahai Penciptaku
Belailah aku, yang
terburuk dari-Mu
Wahai Penciptaku
Ampuni aku, yang saban
hari menyulam dosa
Wahai Penciptaku
Aku lemah
23 04 2016
HEI MANUSIA-MANUSIA PERGERAKAN*
**ditulis untuk memperingati Harlah Ke-56 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Hei manusia-manusia pergerakan
Kusebut kau Manusia sebab Manusia kadang bukan manusia
Hei manusia-manusia pergerakan
Dimanapun kau berkeringat juang
Masih tumpahkah ikhlasmu
Masih melayangkah cita-citamu
Ini surat dari kelas bawah
Yang menyelinap dari deretan berita
Katanya pergerakan tak usai
Benarkah
Katanya lawan makin garang
Benarkah
Katanya Pertiwi makin digoncang
Benarkah
Hei manusia-manusia pergerakan
Ini bukan pertanyaan
Sebab tak kugunakan tanda tanya
Ini hanya sapa bara dendam
Sebab tak berjuang bersama kalian adalah rindu
Sedang jurang kini kian terjal
Di segala penjuru sahabat.. sahabati..
Masihkan kita memikirkan tangisan pribumi
Masihkah kita memikirkan harapan pendiri negeri
Masihkah kita...
Hei manusia-manusia pergerakan
Ini bukan suara ajakan
Sebab tak kugunapan kata kerja pada awal
Ini hanya basa basi lara
Sebab tak berjuang bersama kalian adalah rindu
Kusebut lagi kata rindu
Karena rindu ya rindu
Hei... hei...
Tak usah menganggap ini suara api
Ini hanya suara melankolis
Sedihnya seonggah diri
Yang semakin perih menghantam transisi
Sebab tak berjuang bersama kalian kadang lupa diri
Tentang apakah yang tak berkepentingan
Tentang apakah yang murni perjuangan
Tentang apakah bernasionalisme dengan pijakan
Hei manusia-manusia pergerkan
Kini bendera kita berumur lima enam
Tapi bergerak dan berjuang bukan soal angka kelahiran
Yang gigih ia pemenang
Yang diam ia pecundang
Bergeraklah dengan keyakinan
Berjuanglah dengan keikhlasan
Salam Pergerakan...
Salam Pergerakan...
Salam Pergerakan...
---------------
*ditulis oleh Alumni PMII STT NURUL JADID
17 April 2016
KUSEBUT MAYA
Maya...
Kau yang telanjang
Kau yang boleh siapapun melihat
Wajahmu bolak balik maya
Rambutmu hampir tanpa batas
Kau yang berkanal-kanal
Sebab kau seseorang bisa terkenal
Sebab memperkosamu maya
Maya...
Kenapa kau genit sekali
Kau penuh goda
Mencolek hasratku di mata
Kau makin gila Maya
Bergerilya
Siang malam merupa beda
Maya...
Jenis kelaminmu apa
Kenapa anak kecil-pun harus suka
Padahal dulu, kecilku
Aku tak pernah memperminkan Maya
Hanya sekelas layangan
Kelereng, itupun kalau ada
Maya... Maya...
Jangan kau semakin bebas
Suamimu, Mas Kominfo
Suruh ia membelaimu penuh hasrat
Biar kau tak semakin liar
Maya...
Akh, Maya
Aku tak berani jatuh cinta padamu
Takut kau dekap aku
Lalu kulupa duniaku
Sekedarnya saja Maya
Biar kukecup saja
Tiket masukku berkarya
Selamat malam, Maya
19 April 2016
MERANANYA RAGA
Inilah merana
Tanpa kopi
Sedang pori menutup jendela
Malam yang muram
Sebatas menyaksikan sisa hujan
Di punggung jalan
Kemudian pulang
Sudahlah...
Kepala menengadah pada anak atap
Merana sekali raga ini
Sedang hati bercinta
Dan otak bersenda gurau dengan sunyi
Lalu hati ingat tawa
Segera kuusaikan puisi ini
18 April 2016
MENUJU PERSAKSIAN YANG SEKIAN
Malam ini aku ingin pergi pada sepucuk surat alam. Isinya adalah rimba raya berhambur teka teki makna. Rimba yang kosong, luas, padahal rimba.
Di arah depan, ketika aku mulai melangkahi jalan, sebuah silau menghantam mata, terang saja aku terkejut lalu tak sengaja kututup mata.
Benar-benar diluar duga ketika kubuka pandang perlahan-lahan, bayangan itu, bayangan biru, bayangan yang mengalahkan objeknya.
Oo.. Apalah ini, mataku hampir buta, ternyata tak sampai buta. Kuperhatikan, oo... Indahnya. Cukup, cukup alam, kau cukup menunjukkan kebesaran Tuhan, kini sadarku menyaksikan, Laa Ilaaha Illallah....
Kemudian aku bersujud hati, bersajadah sajak ini, aku ingin banyak berdzikir, sebab rimba raya tak semudah hamparan kosong, lebih rumit dari anggapan mata terlantar. Sekian malam ini.
16 04 2016
PANCA JIWA DI MALAM
Ini sajak kebingungan
Gelap yang mengkafani
Sunyi yang menguburkan
Ada suara samar
Ada gelagat kejahatan
Di sebuah gubuk pusaka
Malam
Entahlah kawan
Terdengar nyamuk menggerutu
Dirasa predator melata
Padahal tak ada
Panca jiwa
Siapa satu saja
Kenapa tak kunjung sepakat
Di malam saja
Kau bingung
Aku; apalagi
Ini aku; memang bersajak kebingungan
Nafas diseduh
Air dihirup
Apalah hidup
Amburadul salah pijak
Panca bahkan tetap
Menari tak wajar
Ke kanan ke kiri
Dengan lagu separuh jalan
Hampir usai
Aku; hanya ingin bernyanyi
Satu
Siapa aku...
Siapa aku...
Siapa aku...
Tiga baris lirik
Masing berakhiran tiga titik
Nahas
Aku; mulai kantuk
Kutarik selimut
Terbanglah
Lalu hilang bersama panca
Di malam
11.44 WIB, 13 April 2016
TITIP RINDU PADA GES
Ges, kutitip rindu malam ini
Pada angin ke arah selatan
Dari pintu yang mungkin sudah tertutup
Biarkan ia masuk lewat celah
Semoga ia sampai
Bersama suarku yang mulai tak lantang
Ges, kutitip ia kau dekap
Sebab ia kesepin
Ia merana tanpa rekah senyummu
Sembari lagu lagu terindah
Kita yang diam sementara
Aku kirim rindu semata
Terimalah, kekasih jiwa
Dengan roman yang kau rasa
2 April 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)